Tradisi Anak Gimbal Dieng dan Gemah Ripah Loh Jinawinya Negeri Kayangan


Tentang Dieng yang membuat mata di dunia terhenti sejenak untuk membaca sebuah paragraf tentang Tradisi Ruwatan Anak Gimbal. Menjejak Dieng yang tak hanya sekali, menjadikan Dieng tempat tujuan favorit bagi kami berdua, terpana pada pesona alamnya, mengenal hasil alamnya, menyapa masyarakat Dieng dan keingintahuan Manda pun semkain menjadi. Akhirnya kubaca beberapa artikel untuk menjawab keingintahuanku tentang tradisi ruwatan anak gimbal yang menjadi salah satu agenda dalam Dieng Culture Festival saat itu. 

Dieng Culture Festival dan Tradisi Ruwatan Anak Gimbal


Menjawab rasa ingin tahu tentang DFC (Dieng Culture Festival Dieng), Manda menyempatkan untuk berkendara selama 3 jam dari kota Yogyakarta. Ya! Dieng Culture Festival yang dalam bahasa Indonesia artinya Festival Budaya Dieng. Sebuah konsep sinergi antara banyak unsur, diantaranya budaya masyarakat, potensi wisata alam Dieng serta pemberdayaan masyarakat lokal sebagai misi dasar pembentukan acara tersebut. Acara ini pada awalnya digagas oleh Kelompok Sadar Wisata (pokdarwis) dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dan organisasi serta dinas terkait kepariwisataan di Dieng.

 


Tak ketinggalan, Manda pun menikmati pesta rakyat di Dieng dengan menaiki bianglala dan membiarkan angin dingin menyapu wajah saat bianglala mulai berputar menuju atas. Rasanya, adeeemmmm brrrrrr.. Dieng Culture Festival pertama kali diselenggarakan pada tahun 2010. 

Jika sebelumnya pernah diadakan acara serupa dengan sebutan "Pekan Budaya Dieng", baru ketika memasuki tahun ketiga di 2010, masyarakat lokal Dieng dan pokdarwis berinisiatif untuk mengubah nama even tersebut menjadi Dieng Culture Festival. Kiranya demikianlah asal muasal adanya Dieng Culture Festival yang setiap tahunnya menyedot perhatian banyak wisatawan lokal dan mancanegara untuk berkunjung ke Dieng.


Kala itu, pelaksanaan Dieng Culture Festival berpusat di Candi Arjuna. Salah satu agenda dalam Dieng
Culture Festival adalah ruwatan rambut gimbal yang dilakukan secara massal. Bahkan di tahun 2016, dari situs warisan budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan tradisi "Ruwatan Rambut Gimbal" sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia dari Jawa Tengah. 

 

Foto diambil dari liputan6.com


Ruwatan rambut gimbal adalah upacara pemotongan (cukur) rambut pada anak-anak berambut gimbal (gembel) yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Dataran Tinggi Dieng. Ritual ruwatan yang diadakan pada tanggal satu Suro bertujuan untuk membersihkan atau membebaskan anak-anak berambut gimbal dari sukerta (kesialan, kesedihan, atau malapetaka). 


Kepercayaan bahwa anak-anak berambut gimbal adalah keturunan Kiai Kolodete atau titipan Kanjeng Ratu Kidul (Nyai Roro Kidul) yang menjadi mitos turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Dieng. Uniknya, ruwatan ini hanya dapat dilakukan setelah orang tua memenuhi permintaan "apa pun" yang diajukan oleh sang anak. Dan pemotongan rambut gimbal harus dilakukan melalui ritual ruwat yang dipimpin tetua adat setempat. Konon jika pemotongan rambut gimbal tidak dilakukan melalui ritual sakral, rambut gimbal akan kembali tumbuh dan si anak cenderung sakit-sakitan.


Terlepas dari misteri yang membuat Dieng menjadi semakin istimewa, Manda pun terpesona dengan keramahan penduduknya. Beberapa kali menginap di Dieng, ada pengalaman menarik yang tidak terlupakan saat dibantu oleh mas Dwi, penduduk lokal Dieng yang tak sengaja bertemu saat Manda Panda kebingungan karena kehabisan penginapan saat dadakan meluncur ke Dieng saat Dieng Culture Festival dan sampai di Dieng sudah sore hari saat hari hujan pula. Sebuah pengalaman yang tidak terlupakan.

Mas Dwi, Penduduk Lokal Dieng

Penginapan dan Keramahan Warga Dieng


Warga lokal di sebuah desa wisata sebisa mungkin memang harus dipersiapkan untuk menjadi guide bagi setiap tamu yang datang ke tempat wisata tersebut. Berkali ke Dieng dan merasakan sendiri keramahan penduduknya. Penduduk lokal Dieng memahami bahwa pariwisata adalah sektor yang mampu membuat masyarakat Dieng sibuk dan produktif.

Kebanyakan family traveler atau seperti Manda dan Panda sebagai couple traveler yang bepergian hanya jika akhir pekan atau hari libur. Saat dimana semua orang juga hendak bepergian. Kala itu long weekend dan bertepatan dengan Dieng Culture Festival, jadilah tanpa rencana kami berdua meluncur ke Dieng. Menikmati Dieng yang seperti lautan manusia kala itu dan seluruh warga lokalnya terlibat. 

Mulai dari menyiapkan penginapan, membuka warung makan, menjadi pemandu wisata, mengelola lahan parkir, menjadi pemusik jalanan, dan menjual hasil alam Dieng. Semuanya menjadi sebuah sinergi positif yang membuat Dieng lebih maju dan siap membangun diri lebih baik untuk bisa menjamu setiap pengunjung yang datang ke Dieng.

D I E N G

Melanjutkan tentang bepergian ke Dieng saat Dieng Culture Festival dan tanpa rencana. Berbekal kepercayaan diri maksimal memesan penginapan sesuai yang sudah di-search Manda melalui google. Yes, menuju ke D'Qiano, dan qodarulloh ternyata penuh dan rasanya hampir menangis karena bisa-bisa kami menginap di mobil. Saat itu, kondisi sudah ramai sejak masuk kawasan Dataran Tinggi Dieng sehingga tidak yakin bisa dapat menemukan penginapan yang proper untuk Manda.




Alhamdulillah, seorang pemuda yang sopan dengan ramah menyapa kami yang sudah lesu dan mencoba googling penginapan di Dieng. Rasanya dapat angin segar, mas Dwi mengantar kami ke rumah warga yang penginapannya disewakan tidak ke sembarang orang katanya. Melihat rumahnya, kamarnya, dan terutama kamar mandi dalamnya, alhamdulillah cocok. Saat peak season kala itu dan kami pun maklum dengan harganya, tak lupa saya meminta nomor mas Dwi sehingga kali lain ke Dieng, akan dibantu menemukan tempat menginap terbaik di Dieng.


Baca juga : Penginapan Tak Terlupakan di Samping Telaga Cebong, Sikunir

Tuhan selalu punya cara untuk membuat hati makhlukNya jatuh cinta, tak jua Manda dan Panda. Pengalaman menginap di rumah warga yang ada di Dieng membuat saya dan Panda merasakan menemukan saudara di Dieng, salah satunya mas Dwi dan pemilik rumah penginapan.


Keramahan warga lokal Dieng

Olahan Hasil Bumi Dieng


  


Keramahan penduduk setempat mulai bisa terlihat saat kita berhenti untuk membeli hasil panen mereka yang biasa dijajakan di depan rumah. Selain buah carica, juga ada keripik kentang yang harus banget dicobain. Kentang Dieng menjadi salah satu jenis kentang terbaik yang harus dicoba.


 


Baca juga : Misteri Carica Dieng


 


Selain buah carica, kentang Dieng juga menjadi salah satu kentang terbaik, serta ada cabai Dieng dan beberapa hasil bumi lain yang bisa menjadi oleh-oleh saat berkunjung ke Dieng. Oleh karenanya, UKM warga lokal pun terus dituntut untuk kreatif mengolah hasil alam Dieng yang melimpah. Olahan warga lokal Dieng bisa dijadikan oleh-oleh yang lebih tahan lama yang bisa dibawa pulang oleh wisatawan yang berkunjung ke Dieng.


 


Menikmati keripik kentang khas Dieng dengan coklat susu atau kopi susu didinginnya Dieng adalah sebuah momen yang harus dicoba ketika mengunjungi Dieng. Ayuk kita jaga dan lestarikan bersama-sama, kita cerikan kepada dunia segala yang indah tentang daerah-daerah di Indonesia. Menjaga alamnya hingga bisa dinikmati sampai ke anak-cucu kelak. Semoga alam Dieng dan tradisinya selalu lestari dan terjaga, aamiin!

10 komentar

  1. Peran pokdarwis memang signifikan. Klo para anggotanya super kreatif dan inovatif, niscaya bisa memaksimalkan pertumbuhan ekonomi daerah setempat.

    BalasHapus
  2. Dieng jadi salah satu kawasan yang ingin ku kunjungi usai pandemi yang entah kapan berakhir ini. Thanks for sharing mbak, jadi pengen mborong kentang khas Dieng deh ~

    BalasHapus
  3. Yustrini07:38

    Seru sekali liburan ke Dieng pas ada festival seperti ini. Kentang dan carica memang wajib dibeli ketika ke sana. Duh, kapan bisa ke Dieng khususnya main di Candi Arjuna ya?

    BalasHapus
  4. Mandaaaa.., kamu sukses bikin aku kangen sama Dieng! Jujur aja aku terakhir kesana adalah saat masih single, hehehe.. jadi yaaa udah lama bangetttt.. Tapi sampai sekarang masih terbayang keindahan alamnya, anak-anak berambut gimbalnya, semuanyaaaa deh.. Semoga Dieng akan selalu asri :)

    BalasHapus
  5. Aku belum pernah nulis tradisi anak gimbal nih. Pan kapan nulis ah. Hehe. Jadi inget carica. Mupeng

    BalasHapus
  6. Kok cepet cuma butuh waktu 3 jam saja naik mobil dari Jogja. Ih jadi ingin ke sana. Rumah temen di sana, ditawarin buat datang tapi belum pernah berkunjung. Ingin juga lihat festival potong rambut gimbal. Konon kalau keinginan anak gak dipenuhi, susah dipotong rambutnya

    BalasHapus
  7. saya belum pernah ke sini pas Festival Dieng ini mba Manda, tapi aku sempat ketemu dan ngobrol langsung sama anak yang gimbal itu dan dengerin ceritanya dari pemilik penginapan tentang anak-anak gimbal ini

    BalasHapus
  8. Udah lama banget nggak ke Dieng. Pengen ke sana lagi deh bulan depan. Semoga pas ketemu event yang bagus juga waktu ke sana.

    BalasHapus
  9. Padahal aku anak Banjarnegara, yang ke Dieng paling sejam. Tapi gak pernah ke sana pas ada acara ruwatan. Huhuhu. Semoga bisa nyusul ke sana kayak Manda.

    BalasHapus
  10. yaampun manda, seneng ya jalan-jalan ke dieng...
    salah satu yang favorit dari dieng memang kentang sih, dan carica... pernah dibawain carica yang belom diolah, eh ternyata ngolahnya cukup ribet... untung dibantu sama sodara-sodara, haha

    BalasHapus